Sabtu, 06 Mei 2017

Mitos atau Fakta : Ketindihan Karena Gangguan Jin??

MITOSATAUFAKTA.COM - Pernahkah Anda merasa terbangun dari tidur, namun tidak mampu bicara atau bergerak? Masyarakat kerap kali menyebutnya sebagai ketindihan. Sebenarnya peristiwa yang sering kali dikaitkan dengan kejadian mistis ini memiliki penjelasan secara medis.
Mitos atau Fakta : Ketindihan Karena Gangguan Jin??
Ketindihan, secara medis disebut dengan sleep paralysis, adalah peristiwa yang biasanya ditandai dengan ketidakmampuan untuk berbicara atau bergerak saat terbangun dari tidur atau ketika akan tidur. Berlangsung selama beberapa detik hingga beberapa menit.

Dipicu Kelumpuhan Otot

Otot menjadi tidak aktif saat tidur, merupakan hal yang normal. Pada waktu ketindihan terjadi, ketidakaktifan otot berlanjut untuk beberapa saat dari masa tidur ke masa sadar.
Saat mengalami ketindihan, ada kemungkinan juga mengakibatkan seseorang merasa sulit bernapas. Selain itu, tidak jarang ada yang merasakan sensasi lain, misalnya merasa ada sosok lain bersamanya. Ini merupakan jenis halusinasi yang umum terjadi.
Ada dua jenis sleep paralysis yaitu :
1. Hypnagogic sleep paralysis.
Kelumpuhan atau paralysis jenis ini terjadi sebelum seseorang tertidur sepenuhnya. Umumnya ketika menjelang tidur, tubuh akan terasa makin rileks dan perlahan-lahan kehilangan kesadaran. Bagi seseorang yang mengalami hypnagogic sleep paralysis, dirinya tetap tersadar, tapi dia tidak dapat berbicara atau menggerakkan tubuh.
2. Hypnopompic sleep paralysis.
Kelumpuhan semacam ini berlangsung ketika seseorang tersadar pada akhir masa tidur. Umumnya, masa tidur terbagi menjadi dua, yaitu NREM (non-rapid eye movement) dan REM (rapid eye movement). Porsi NREM adalah sekitar 75 persen dari masa tidur, sementara sisanya menjadi masa tidur REM. Ketika seseorang tersadar sebelum masa REM berakhir, maka pada saat itulah bisa terjadi hypnopompic sleep paralysis.

Menelusuri Faktor Risiko

Beberapa hal yang dapat meningkatkan risiko seseorang mengalami fenomena ini adalah ketika mengalami kurang tidur atau pola tidur yang tidak teratur. Faktor usia juga berpengaruh, remaja dan dewasa muda merupakan kalangan yang lebih berisiko.

Selain itu ada faktor risiko lain, seperti faktor keturunan, tidur dalam posisi terlentang, mengalami stres, mengidap penyakit bipolar, kram kaki pada malam hari, serta penyalahgunaan obat-obatan.
Meski jarang terjadi, kelumpuhan masa tidur ini juga bisa menjadi gejala narkolepsi, yaitu gangguan tidur yang menyebabkan penderitanya mengalami kesulitan untuk tetap terjaga lebih dari 3-4 jam.

Mencukupi Kebutuhan Tidur

Tiap orang memiliki kemungkinan mengalami ketindihan. Tidak ada perbedaan antara pria dan wanita. Ada yang mengalami ketindihan satu hingga dua kali saja seumur hidup, namun ada juga yang menghadapi beberapa kali dalam satu bulan atau lebih sering lagi.
Beberapa perubahan kebiasaan, sering kali efektif mengatasi fenomena ketindihan. Misalnya memastikan terpenuhinya kebutuhan tidur sekitar 6-8 jam tiap malam, memperbaiki lingkungan tempat tidur, atau mulai tidur dan bangun pada jam yang sama secara teratur.
Pola hidup sehat lain juga dapat mengurangi kemungkinan sleep paralysis, seperti olahraga secara teratur, mengurangi konsumsi kafein, menghindari konsumsi minuman beralkohol dan berhenti merokok.

Tanda-tanda yang Perlu Diwaspadai

Kelumpuhan pada masa tidur sering kali tidak membutuhkan penanganan khusus, namun segera periksakan diri Anda jika kemudian mengalami hal-hal berikut:
·        Rasa cemas atau khawatir berlebihan.
·        Merasa lelah seharian.
·        Tidak dapat tidur semalaman.
Penggunaan obat-obatan hanya boleh dilakukan berdasarkan saran dokter. Kemungkinan dokter akan memberi obat antidepresan untuk membantu mengatasi hal tersebut.
Mengalami peristiwa ketindihan pada umumnya membuat seseorang merasa takut, namun tidak perlu khawatir berlebihan. Dengan memperbaiki pola tidur dan menerapkan gaya hidup sehat, sering kali efektif dalam mengurangi risiko terulangnya peristiwa tersebut. Jika gejala berlanjut dan mulai mengganggu, konsultasikan dengan dokter untuk mendapatkan solusi terbaik.

Sumber: alodokter.com